
Tim dosen Unesa dan pengrajin kain tradisional menunjukkan karya yang menjadi identitas sekaligus penggerak ekonomi masyarakat Desa Macanan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.
Unesa.ac.id. SURABAYA—Wastra bukan sekadar kain—ia adalah identitas, sejarah, dan jiwa dari peradaban nusantara. Di balik helai motif dan warna, tersimpan nilai budaya yang kaya, yang kini dihadapkan pada tantangan zaman.
Napas identitas nasional melalui kain tradisional kembali ditenun oleh tangan-tangan pengrajin dan tim dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) melalui pengembangan Kampung Wisata Wastra di Desa Macanan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.
Adalah Peppy Mayasari, dosen Pendidikan Tata Busana Fakultas Teknik, yang memimpin tim Kedaireka bersama Rojil Nugroho Bayu Aji, Lutfi Saksono, dan Nurhayati, yang tidak sekadar meneliti, tetapi membangun harapan: menjadikan wastra sebagai napas ekonomi daerah sekaligus pusat pelestarian budaya yang hidup.
"Tujuan utama kampung wisata ini adalah untuk melestarikan dan mempromosikan wastra Nusantara, sambil membuka jalan ekonomi baru bagi masyarakat setempat," terang Peppy.
Unesa bekerja sama dengan PT Kekean Primanda Indonesia dalam mengembangkan kampung wisata tersebut. Masyarakat desa setempat memang banyak yang jadi pengrajin batik, di samping sebagai petani.
Kampung wisata ini berdiri di atas lahan seluas 600 meter persegi dan menjadi rumah bagi 39 pengrajin batik dan tenun yang masih setia menggunakan alat-alat tradisional. Mereka bukan sekadar membuat kain, mereka merawat warisan, menjaga ritme kerja yang selaras dengan tradisi.
"Desa ini punya potensi besar. Budayanya kaya, pengrajinnya tangguh, dan masyarakatnya terbuka terhadap inovasi," ujar Peppy. Karena itu, timnya tidak hanya membangun fisik kampung wisata, tetapi juga memberdayakan pengrajin melalui pelatihan, pembinaan, dan pembukaan akses pasar yang lebih luas.
Tak heran jika program ini disambut hangat oleh warga. Banyak ibu-ibu pengrajin kini merasa produktif, dan lebih percaya diri karena karyanya tidak lagi hanya untuk konsumsi lokal, tetapi sudah mulai dilirik sebagai produk wisata dan budaya.
Namun jalan menuju cita-cita tak selalu mulus. Peppy mengakui, ada sejumlah tantangan yang dihadapi. Mulai dari keterbatasan jarak antarlokasi, waktu, biaya, hingga sumber daya manusia.
Namun, semua itu dihadapi bersama, dengan kolaborasi yang erat antara tim pelaksana dan mitra serta keterlibatan aktif masyarakat.
“Interaksi langsung dengan warga memberi banyak pelajaran. Kami bisa memahami kendala mereka dan bersama-sama mencari solusi,” ucap Peppy.
Dari proses panjang, proyek Kedaireka ini selain mampup mengembangkan kampung wisata, juga menghasilkan produk akademik berupa enam Hak Kekayaan Intelektual (HKI), modul pelatihan bertingkat dari dasar hingga mahir, fashion show, hingga pameran karya.
Lebih dari itu, proyek ini menjadi bukti nyata bahwa akademisi tak hanya bicara konsep, tapi mampu menjahit asa, menyulam perubahan, dan menghidupkan warisan agar tak lapuk dimakan zaman.
“Harapannya, model seperti ini bisa direplikasi di daerah lain yang memiliki potensi serupa. Karena pelestarian budaya tidak bisa berhenti di satu titik. Ia harus terus tumbuh, meluas, dan mengakar,” tutup Peppy, penuh harap. ][
***
Sumber: Majalah Unesa edisi Januari 2025
Kurator: @zam*
Foto: Tim Kedaireka Unesa
Share It On: