
Berbagai penelitian menunjukkan, puasa bisa menjadi ‘obat’ yang mengurangi stres, kecemasan, dan depresi, sehingga hidup lebih tenang dan bahagia, (ilustrasi: mucahityildiz/pixabay.com).
Unesa.ac.id. SURABAYA—Setiap ibadah, termasuk puasa memiliki memiliki banyak manfaatnya baik secara spiritual, sosial, maupun kesehatan mental seseorang. Puasa dapat mengurangi stres, kecemasan, dan depresi.
Dekan Fakultas Psikologi (FPsi), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dr. Diana Rahmasari.,S.Psi. ,M.Si., Psikolog, mengatakan bahwa dalam kajian psikologi, baik kesehatan mental maupun gangguan mental umumnya dipengaruhi faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Secara biologis, gangguan mental dapat disebabkan ketidakseimbangan neurotransmitter di otak. Misalnya, kadar serotonin yang rendah dikaitkan dengan depresi dan kecemasan, sementara kelebihan dopamin ditemukan pada penderita skizofrenia.
Faktor genetik juga berperan dalam risiko gangguan mental, seperti depresi mayor dan gangguan bipolar yang sering ditemukan dalam riwayat keluarga. Namun, faktor ini bukan satu-satunya penyebab, karena aspek psikologis dan sosial yang juga memiliki pengaruh signifikan.
Puasa memberikan kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat dan melakukan pemulihan, termasuk dalam mengatur kadar hormon stres seperti kortisol. “Dengan pola makan yang lebih teratur selama puasa, kemampuan berpikir meningkat dan stres lebih terkendali,” ucapnya.
Selain itu, puasa terbukti meningkatkan produksi Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), protein yang berperan dalam meningkatkan suasana hati, kewaspadaan, dan rasa euforia. Peningkatan hormon dopamin selama puasa juga berkontribusi terhadap peningkatan motivasi, semangat, dan kebahagiaan.
Selain itu, puasa berpengaruh pada ritme sirkadian, yaitu mekanisme tubuh yang mengatur siklus tidur dan bangun. Perbaikan ritme sirkadian selama puasa meningkatkan kualitas tidur, yang berkontribusi terhadap pengurangan stres, kecemasan, dan depresi.
"Kurang tidur dapat menyebabkan mood swing, ketidaksabaran, dan gangguan konsentrasi. Oleh karena itu, menjaga kualitas tidur selama puasa sangat penting untuk kesehatan mental," ujarnya.
Puasa mengajarkan kedisiplinan dan pengendalian diri. Aturan dalam puasa, seperti sahur, berbuka, serta menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, melatih individu untuk mengembangkan self-control dan regulasi emosi.
Praktik spiritual seperti doa dan refleksi diri selama Ramadan juga dapat meningkatkan kesejahteraan emosional serta memperkuat hubungan dengan Tuhan.
Secara sosial, puasa menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang kurang beruntung. Berbagi selama Ramadan meningkatkan produksi hormon oksitosin dan serotonin, yang menciptakan perasaan bahagia dan kebermaknaan hidup.
"Saat kita berbagi dengan orang lain, kita merasa lebih berarti dan memiliki peran di masyarakat, yang pada akhirnya mengurangi perasaan kesepian karena perasaan terhubung dan berdaya bermanfaat secara sosial," tambahnya.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa puasa memiliki dampak positif terhadap kesehatan mental. Studi oleh Sahaby dkk. (2022) menemukan bahwa puasa selama pandemi dapat meningkatkan kesejahteraan mental.
Sementara itu, penelitian Jandali et al. (2024) menyatakan bahwa puasa Ramadan mampu meningkatkan kebahagiaan, kepuasan hidup, serta menurunkan tingkat stres, kecemasan, dan depresi.
Penelitian lain, Ganson dkk. (2021) juga menunjukkan bahwa puasa dapat digunakan sebagai intervensi untuk menurunkan perilaku impulsif, termasuk penyalahgunaan zat dan gangguan kontrol diri.
Untuk memaksimalkan manfaat psikologis dari puasa, Diana menyarankan agar puasa dijalani dengan mindfulness dan meaningfulness. Mindfulness berarti menjalani puasa dengan kesadaran penuh dan keikhlasan, kebahagiaan, yang dibarengi dengan rasa penerimaan.
Sementara itu, meaningfulness berkaitan dengan memahami tujuan dan makna puasa, yang dapat meningkatkan motivasi, ketahanan mental, serta koneksi sosial melalui kegiatan berbagi dan ibadah. “Dengan menjalani puasa secara sadar dan penuh makna, kita tidak hanya memperoleh manfaat spiritual, tetapi juga kesehatan mental yang lebih baik,” pungkasnya. [*]
***
Reporter: Sindy Riska Fadillah (Fisipol)
Editor: @zam*
Ilustrasi: mucahityildiz/pixabay.com
Share It On: